Virus
imunodifisiensi manusia (bahasa Inggris: human immunodeficiency virus;
HIV ) adalah suatu virus yang dapat menyebabkan penyakit AIDS. Virus ini
menyerang manusia dan menyerang sistem kekebalan (imunitas) tubuh, sehingga
tubuh menjadi lemah dalam melawan infeksi. Dengan kata lain, kehadiran virus
ini dalam tubuh akan menyebabkan defisiensi (kekurangan) sistem imun.
Sejarah
Pada tahun
1983, Jean Claude Chermann dan Françoise Barré-Sinoussi dari Perancis berhasil
mengisolasi HIV untuk pertama kalinya dari seorang penderita sindrom limfadenopati.
Pada awalnya, virus itu disebut ALV (lymphadenopathy-associated virus) Bersama dengan Luc Montagnier, mereka
membuktikan bahwa virus tersebut merupakan penyebab AIDS. Pada awal tahun 1984,
Robert Gallo dari Amerika Serikat juga meneliti tentang virus penyebab AIDS
yang disebut HTLV-III. Setelah diteliti lebih lanjut, terbukti bahwa ALV dan
HTLV-III merupakan virus yang sama dan pada tahun 1986, istilah yang digunakan
untuk menyebut virus tersebut adalah HIV, atau lebih spesifik lagi disebut
HIV-1.
Tidak lama
setelah HIV-1 ditemukan, suatu subtipe baru ditemukan di Portugal dari pasien
yang berasal dari Afrika Barat dan kemudian disebut HIV-2. Melalui kloning dan
analisis sekuens (susunan genetik), HIV-2 memiliki perbedaan sebesar 55% dari
HIV-1 dan secara antigenik berbeda. Perbedaan terbesar lainnya antara kedua
strain (galur) virus tersebut terletak pada glikoprotein selubung. Penelitian
lanjutan memperkirakan bahwa HIV-2 berasal dari SIV (retrovirus yang
menginfeksi primata) karena adanya kemiripan sekuens dan reaksi silang antara
antibodi terhadap kedua jenis virus tersebut.
Klasifikasi
Pohon
kekerabatan (filogenetik) yang menunjukkan kedekatan SIV dan HIV.
Kedua spesies
HIV yang menginfeksi manusia (HIV-1 dan -2) pada mulanya berasal dari Afrika
barat dan tengah, berpindah dari primata ke manusia dalam sebuah proses yang
dikenal sebagai zoonosis. HIV-1 merupakan hasil evolusi dari simian
immunodeficiency virus (SIVcpz) yang ditemukan dalam subspesies simpanse, Pan
troglodyte troglodyte. Sedangkan, HIV-2 merupakan spesies virus hasil evolusi
strain SIV yang berbeda (SIVsmm), ditemukan pada Sooty mangabey, monyet
dunia lama Guinea-Bissau. Sebagian besar infeksi HIV di dunia disebabkan oleh
HIV-1 karena spesies virus ini lebih virulen dan lebih mudah menular
dibandingkan HIV-2. Sedangkan, HIV-2 kebanyakan masih terkurung di Afrika
barat.
Berdasarkan
susuanan genetiknya, HIV-1 dibagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu M, N, dan
O. Kelompok HIV-1 M terdiri dari 16 subtipe yang berbeda. Sementara pada
kelompok N dan O belum diketahui secara jelas jumlah subtipe virus yang
tergabung di dalamnya. Namun, kedua kelompok tersebut memiliki kekerabatan
dengan SIV dari simpanse. HIV-2 memiliki 8 jenis subtipe yang diduga berasal
dari Sooty mangabey yang berbeda-beda.
Apabila
beberapa virus HIV dengan subtipe yang berbeda menginfeksi satu individu yang
sama, maka akan terjadi bentuk rekombinan sirkulasi (circulating recombinant
forms - CRF) (bahasa Inggris: circulating recombinant form, CRF). Bagian dari
genom beberapa subtipe HIV yang berbeda akan bergabung dan membentuk satu genom
utuh yang baru. Bentuk rekombinan yang pertama kali ditemukan adalah rekombinan
AG dari Afrika tengah dan barat, kemudian rekombinan AGI dari Yunani dan Siprus,
kemudian rekombinan AB dari Rusia dan AE dari Asia tenggara. Dari seluruh
infeksi HIV yang terjadi di dunia, sebanyak 47% kasus disebabkan oleh subtipe
C, 27% berupa CRF02_AG, 12,3% berupa subtipe B, 5.3% adalah subtipe D dan 3.2%
merupakan CRF AE, sedangkan sisanya berasal dari subtipe dan CRF lain.[
Struktur dan Materi Genetik
HIV memiliki
diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena
bentuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion).[11]
Selubung virus berasal dari membran sel inang yang sebagian besar tersusun dari
lipida.[11] Di dalam selubung terdapat bagian yang disebut protein
matriks.[11]
Bagian internal
dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid.[12]
Genom adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas
tunggal RNA.[12] Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus
dan melindungi genom.[12]
Berbeda dengan
sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (gag, pol,
dan env), HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref,
dan nef).[11] Gen-gen tersebut disandikan oleh RNA virus yang
berukuran 9 kb.[11] Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi
tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural
(Gag, Pol, Env), protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya
pada HIV-1, Vpx hanya pada HIV-2; Vpr, Vif, Nef).[12]
Nama
Gen dan Protein yang disandikan
|
Ukuran
|
Lokalisasi
|
Fungsi
|
Tat
(trans-aktivator transkripsi)
|
86
asam amino (AA), 2 ekson, 14 kDalton
|
nukleus,
nukleolus, protein awal
|
Penting
untuk replikasi; Trans-aktivasi ekspresi mRNA virus, mengatur ekspresi
sitokin dan reseptor. [13]
|
Rev
(regulator ekspresi protein virus)
|
116
AA, 2 ekson, 19 kDalton
|
nukleus,
di antara sitoplasma dan nukleolus
|
Penting
untuk replikasi; mengatur transkripsi dan ekspresi protein Gag, Pol, Env,
Vif, Vpu, dan Vpr.[13]
|
Vif
(faktor infektivitas virus)
|
192
AA, 23 kDalton
|
sitoplasma,
beberapa molekul yang terbungkus dalam virion dewasa
|
Penting
untuk infektivitas dan replikasi pada sel primer; berperan dalam tahap awal
replikasi HIV[13]
|
Vpr
(Protein R virus)
|
96-106
AA, 10-15 kDalton
|
komponen
dari inti virus dan kompleks membran
|
Mediasi
replikasi di sel yang tidak membelah[13]
|
Vpx
(Protein X virus)
|
112
AA, 12-16 kDalton
|
komponen
virion
|
Berfungsi
seperti Vpr[13]
|
Vpu
(Protein U virus)
|
81
AA (terfosforilasi), 9,2 & 16 kDalton
|
retikulum
endoplasma, protein transmembran
|
Degradasi
CD4; meningkatkan pelepasan HIV; pembentukan membran protein integral;
regulasi ekpresi permukaan sel terhadap MHC I[13]
|
Nef
(Faktor Negatif)
|
206
AA, 27 kDalton
|
virion,
sitoplasma, nukleus
|
Meningkatkan
produksi HIV di tahap akhir; mengatur ekspresi MHC I dan CD4[13]
|
Siklus Hidup
Struktur HIV.
Seperti virus
lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel inang.
Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan
reseptor pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5.
Sel-sel yang menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga.[12]
Sel-sel tersebut terdapat pada permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina,
dan oral yang biasanya menjadi tempat awal infeksi HIV.[12] Selain
itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk serta bereplikasi
di noda limpa.[12]
Setelah
menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi
partikel virus akan terlepas di dalam sel.[14] Selanjutnya, enzim transkriptase
balik yang dimiliki HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA.[14]
Kemudian, DNA virus akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip
atau terintegrasi dengan DNA manusia.[14] DNA virus yang menyisip di
DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat bertahan cukup lama di dalam
sel.[14] Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki
sel inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi
mRNA.[14] Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan
menjadi cetakan untuk membuat protein dan enzim HIV.[14] Sebagian
RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus.[14] Bagian genom
RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh.[14]
Pada tahap perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk memotong protein
panjang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus.[14] Apabila
HIV utuh telah matang, maka virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan
menginfeksi sel berikutnya.[15] Proses pengeluaran virus tersebut
melalui pertunasan (budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari membran
permukaan sel inang.[15]
Deteksi HIV
Seorang wanita
sedang menggunakan alat tes HIV.
Umumnya, ada
tiga tipe deteksi HIV, yaitu tes PCR, tes antibodi HIV, dan tes antigen HIV.[16]
Tes reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan teknik deteksi berbasis asam
nukleat (DNA dan RNA) yang dapat mendeteksi keberadaan materi genetik HIV di
dalam tubuh manusia.[17] Tes ini sering pula dikenal sebagai tes
beban virus atau tes amplifikasi asam nukleat (HIV NAAT).[16] PCR
DNA biasa merupakan metode kualitatif yang hanya bisa mendeteksi ada atau
tidaknya DNA virus.[18] Sedangkan, untuk deteksi RNA virus dapat
dilakukan dengan metode real-time PCR yang merupakan metode kuantitatif.[18]
Deteksi asam nukleat ini dapat mendeteksi keberadaan HIV pada 11-16 hari sejak
awal infeksi terjadi.[8] Tes ini biasanya digunakan untuk mendeteksi
HIV pada bayi yang baru lahir, namun jarang digunakan pada individu dewasa
karena biaya tes PCR yang mahal dan tingkat kesulitan mengelola dan menafsirkan
hasil tes ini lebih tinggi bila dibandingkan tes lainnya.[16]
Untuk
mendeteksi HIV pada orang dewasa, lebih sering digunakan tes antibodi HIV yang
murah dan akurat.[16] Seseorang yang terinfeksi HIV akan
menghasilkan antibodi untuk melawan infeksi tersebut.[16] Tes
antibodi HIV akan mendeteksi antibodi yang terbentuk di darah, saliva (liur),
dan urin.[16] Sejak tahun 2002, telah dikembangkan suatu penguji
cepat (rapid test) untuk mendeteksi antibodi HIV dari tetesan darah
ataupun sampel liur (saliva) manusia.[19] Sampel dari tubuh pasien
tersebut akan dicampur dengan larutan tertentu. Kemudian, kepingan alat uji (test
strip) dimasukkan dan apabila menunjukkan hasil positif maka akan muncul
dua pita berwarna ungu kemerahan.[19] Tingkat akurasi dari alat uji
ini mencapai 99.6%, namun semua hasil positif harus dikonfirmasi kembali dengan
ELISA.[19] Selain ELISA, tes antibodi HIV lain yang dapat digunakan
untuk pemeriksaan lanjut adalah Western blot.[17]
Tes antigen
dapat mendeteksi antigen (protein P24) pada HIV yang memicu respon antibodi.[16]
Pada tahap awal infeksi HIV, P24 diproduksi dalam jumlah tinggi dan dapat
ditemukan dalam serum darah.[16] Tes antibodi dan tes antigen
digunakan secara berkesinambungan untuk memberikan hasil deteksi yang lebih
akurat dan lebih awal.[16] Tes ini jarang digunakan sendiri karena
sensitivitasnya yang rendah dan hanya bisa bekerja sebelum antibodi terhadap
HIV terbentuk.[16]
Penularan dan Pencegahan
HIV dapat
ditularkan melalui injeksi langsung ke aliran darah, serta kontak membran
mukosa atau jaringan yang terlukan dengan cairan tubuh tertentu yang berasal
dari penderita HIV.[20] Cairan tertentu itu meliputi darah, semen,
sekresi vagina, dan ASI.[20] Beberapa jalur penularan HIV yang telah
diketahui adalah melalui hubungan seksual, dari ibu ke anak (perinatal),
penggunaan obat-obatan intravena, transfusi dan transplantasi, serta paparan
pekerjaan.[21]
Hubungan seksual
Menurut data WHO,
pada tahun 1983-1995, sebanyak 70-80% penularan HIV dilakukan melalui hubungan
heteroseksual, sedangkan 5-10% terjadi melalui hubungan homoseksual. Kontak
seksual melalui vagina dan anal memiliki resiko yang lebih besar untuk
menularkan HIV dibandingkan dengan kontak seks secara oral.[22]
Beberapa faktor lain yang dapat meningkatkan resiko penularan melalui hubungan
seksual adalah kehadiran penyakit menular seksual, kuantitas beban virus,
penggunaan douche. Seseorang yang menderita penyakit menular seksual lain
(contohnya: sifilis, herpes genitali, kencing nanah, dsb.) akan lebih mudah
menerima dan menularkan HIV kepada orang lain yang berhubungan seksual
dengannya.[23] [24] Beban virus merupakan jumlah virus
aktif yang ada di dalam tubuh. Penularah HIV tertinggi terjadi selama masa awal
dan akhir infeksi HIV karena beban virus paling tinggi pada waku tersebut.[24]
Pada rentan waktu tersebut, beberapa orang hanya menimbulkan sedikit gejala
atau bahkan tidak sama sekali.[24] Penggunaan douche dapat
meningkatkan resiko penularan HIV karena menghancurkan bakteri baik di sekitar
vagina dan anus yang memiliki fungsi proteksi.[24] Selain itu,
penggunaan douche setelah berhubungan seksual dapat menekan bakteri penyebab
penyakit masuk ke dalam tubuh dan mengakibatkan infeksi.[24]
Pencegahan HIV
melalui hubungan seksual dapat dilakukan dengan tidak berganti-ganti pasangan
dan menggunakan kondom.[21] Cara pencegahan lainnya adalah dengan
melakukan hubungan seks tanpa menimbulkan paparan cairan tubuh.[23]
Untuk menurunkan beban virus di dalam saluran kelamin dan darah, dapat
digunakan terapi anti-retroviral.[24]
Ibu ke anak (transmisi perinatal)
Penularan HIV
dari ibu ke anak dapat terjadi melalui infeksi in utero, saat proses
persalinan, dan melalui pemberian ASI.[21] Beberapa faktor maternal
dan eksternal lainnya dapat mempengaruhi transmisi HIV ke bayi, di antaranya
banyaknya virus dan sel imun pada trisemester pertama, kelahiran prematur, dan
lain-lain.[21] Penurunan sel imun (CD4+) pada ibu dan tingginya RNA
virus dapat meningkatkan resiko penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu,
sebuah studi pada wanita hamil di Malawi dan AS juga menyebutkan bahwa
kekurangan vitamin A dapat meningkatkan risiko infeksi HIV. Risiko penularan
perinatal dapat dilakukan dengan persalinan secara caesar, tidak memberikan
ASI, dan pemberian AZT pada masa akhir kehamilan dan setelah kelahiran bayi.[21]
Di sebagian negara berkembang, pencegahan pemberian ASI dari penderita HIV/AIDS
kepada bayi menghadapi kesulitan karena harga susu formula sebagai pengganti
relatif mahal.[25] Selain itu, para ibu juga harus memiliki akses ke
air bersih dan memahami cara mempersiapan susu formula yang tepat.[25]
Lain-lain
Cara efektif
lain untuk penyebaran virus ini adalah melalui penggunaan jarum atau alat
suntik yang terkontaminasi, terutama di negara-negara yang kesulitan dalam
sterilisasi alat kesehatan.[21] Bagi pengguna obat intravena
(dimasukkan melalui pembuluh darah), HIV dapat dicegah dengan menggunakan jarum
dan alat suntik yang bersih.[21] Penularan HIV melalui transplantasi
dan transfusi hanya menjadi penyebab sebagian kecil kasus HIV di dunia (3-5%).[21]
Hal ini pun dapat dicegah dengan melakukan pemeriksaan produk darah dan
transplan sebelum didonorkan dan menghindari donor yang memiliki resiko tinggi
terinfeksi HIV.[21]
Penularan dari
pasien ke petugas kesehatan yang merawatnya juga sangat jarang terjadi (<
0.0001% dari keseluruhan kasus di dunia).[21] Hal ini dicegah dengan
memeberikan pengajaran atau edukasi kepada petugas kesehatan, pemakaian pakaian
pelindung, sarung tangan, dan pembuangan alat dan bahan yang telah
terkontaminasi sesuai dengan prosedur.[21] Pada tahun 2005, sempat
diusulkan untuk melakukan sunat dalam rangka pencegahan HIV. Namun menurut WHO,
tindakan pencegahan tersebut masih terlalu awal untuk direkomendasikan.[26]
Ada beberapa
jalur penularan yang ditakutkan dapat menyebarkan HIV, yaitu melalui ludah,
gigitan nyamuk, dan kontak sehari-hari (berjabat tangan, terekspos batuk dan
bersin dari penderita HIV, menggunakan toilet dan alat makan bersama, berpelukan).[20]
Namun, CDC (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit) menyatakan bahwa
aktivitas tersebut tidak mengakibatkan penularan HIV.[20] Beberapa
aktivitas lain yang sangat jarang menyebabkan penularan HIV adalah melalui
gigitan manusia dan beberapa tipe ciuman tertentu.[20]
Sub-Sahara
Afrika tetap merupakan daerah yang paling parah terkena HIV di antara kaum
perempuan hamil pada usia 15-24 tahun di sejumlah negara di sana. Ini diduga
disebabkan oleh banyaknya penyakit kelamin, praktik menoreh tubuh, transfusi
darah, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi di sana.[27]
Posting Komentar